Pasca musibah itu, gue langsung balik. Kayanya gue bisa sedikit bersyukur waktu itu belum di bolehin bawa motor, ga kebayang aja kalo gue harus nahan sakit tiap ganti gigi. Sampe rumah gue langsung cuci kaki biar darahnya bersih dan tidur. Gue harap pas gue bangun sakitnya udah mendingan.
Ternyata pas gue bangun jam 7, sakit di kaki gue makin menjadi. Tetesan darah di kasur gue makin banyak. Karena takut infeksi dan air ketuban gue pecah, gue mutusin buat bilang ke nyokap.
'Yaudah kamu ke dokter aja, nanti ada yang nganter' Kata nyokap.
Gue pun berangkat ke klinik 24 jam. Waktu itu di sana pasiennya ga terlalu banyak. Beberapa menit kemudian gue langsung masuk ke ruang periksa
'Ini sih kukunya harus dicabut.' Kata si dokter.
'Hah? di cabut?' gue gelagapan, 'sekarang dok?'
'Iya, mau kapan lagi? udah infeksi tuh sedikit'
Mampus gue.
Gue inget dulu pernah ngalamin kejadian yang sama, tapi di gigi. Waktu itu emang pas giginya di cabut gak berasa apa-apa, tapi pas di suntik biusnya itu loh, rasanya kaya pergi ke langit tujuh warna, ketemu raditya dika, terus pulangnya pipis di celana.
Kalo ga salah waktu itu di suntiknya nggak cuma sekali.
'Ya udah dok sekarang aja'
'Disuntik dulu yah biar gak sakit'
'Hemmm berapa kali dok?' Gue sok cool, padahal udah mencret dua kilo.
'Cuma tiga kali kok'
Tuh kan bener
'Pelan-pelan ya dok,' gue merem melek.
'Iya, nggak sakit kok.'
Nenek lu ga sakit!
Akhirnya gue rela membiarkan seonggok jempol gue untuk di sakiti. Gue mulai deg deg-an waktu dia ngambil suntikan. Dari dulu gue emang udah takut sama jarum suntikan. Gue berharap ini semua cuma mimpi. Gue berharap dokter dan suster-suster disini adalah angsa betina yang akan menjelma jadi bidadari surga, dan pas gue bangun jempol gue udah sembuh. Tapi ternyata enggak kaya gitu. Gue pasrah. Oh Arumi, nikahi aku sekarang (?)
'Siap ya...' si dokter mulai nyuntik gue, 'Pelan-pelan kok'
Cussss....
Sip, sekarang jempol gue yang emang dasarnya udah tersiksa resmi kembali dianiaya oleh jarum suntik.
'AAAAHH, PELAN-PELAN DOK, PELAAAAN!' Jerit gue.
'Iya kok, ini pelan'
Cussss... .Cusssss.....
'AAAAAAAAHH!!' Gue teriak sekenceng-kencengnya. Gue yang tadinya mau jaim malah jadi keliatan cengeng. Gue gak peduli, yang penting gue puas teriak.
'Dok, ini sakit. BANGET!!!' Gue nahan nangis.
'Iya, udah kok, bentar lagi tinggal di cabut kukunya'
'Oh iya dok, iya' Gue merem melek lagi.
Gue kira penderitaan itu sudah akan segera berakhir, tapi ternyata kaki gue meminta lebih.
'Kalo gitu di cabut sekarang ya'
'Iya dok, sekarang pelan pelan ya'
'Udah nggak sakit kok' Kata dia bak seorang malaikat.
krek....
krek....
'AAAAH dok, masih sakit! AAAAHHH!!' Gue teriak lagi
'Hah? Yang bener?' Dia malah makin narik kuku gue dengan enaknya.
'AAAAH sakit dok! UDAAAH!!!'
'Hemm kok bisa yah?' Si dokter malah cangak, 'Bener masih sakit?'
'Masih sakit dok!' Gue ngos-ngosan.
'Kok, bisa ya?'
'MANA SAYA TAU!' Gue sewot.
Hening.
'Bener masih sakit?'
'IYE!'
Masih hening.
'Kalo gitu suntik lagi ya' si dokter malah makin sinting.
'Hah?! Serius?'
'Iya, biar nggak sakit lagi'
'Beneran dok?' Jantung gue udah mau push up. 'Berapa kali?'
'Cuma dua kali kok'
Gue mati suri.
Setelah kejadian naas itu, gue ngabisin hari liburan gue dengan mendekam di rumah sambil kaki di perban bulet-bulet. Gue masih harus bolak-balik klinik buat ganti perban dan segala tetek bengeknya. Yang paling ngebuat gue nyeselin kejadian itu adalah: gue jadi nggak bisa ikut diksar, semacam kepemilihan wk gugus dan panitia lasastra, cuma karena alasan simpel : gak bisa pake sepatu. Iya, gitu doang, emang futsal jahanam. Udah gitu gue paling males kalo harus mandi atau apa pun yang berhubungan sama kamar mandi. Gue harus nutupin jari gue (berikut kakinya) pake semacam kantong kresek gitu. Jadi setiap kali gue buang air, gue harus angkat sebelah kaki buat meminimalisir kaki gue biar nggak kena air. Gue tau, semacam gaya anjing gitu lah.
Tapi senggaknya, gue bisa sedikit bersyukur karena kejadian ini gue alami di hari libur, nggak kebayang aja kalo pas hari sekolah, gue harus tiap hari sekolah pake sendal. Enggak deh, makasih, mending gue ga maen ps3.
"Segala sesuatu ada hikmahnya." Raka, 16 tahun, suka mual di depan cermin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar